TABIR HIKMAH DI BALIK KEPERGIAN

Saat tulisan ini dibuat, saya seperti sedang berposisi menatap pintu kelas dimana Dr. KH Muslih Idris mengajar. Dengan kacamata yang sering beliau ulang-pakai ketika hendak membaca dan mengoreksi bacaan, senyuman bagi mahasantri yang menjawab kurang tepat, intonasi vokal yang diwarnai pertanyaan, maupun momen berhenti sejenak ketika mendapati istilah yang begitu mendalam. Semuanya masih berpendar dalam pikiran terjejaring menjadi nuansa yang menenangkan.

Mungkin tulisan sederhana dalam ruang ini tidak bisa utuh menuliskan secara gamblang kisah beliau. Kegigihan beliau -berikut Para Masyayikh Sabilussalam lainnya- terlalu luar biasa untuk dituangkan dalam sebuah narasi singkat nan terbatas ini. Sampai saat ini, jika merasa adanya kebaikan dalam hidup yang saya rasakan, itu bisa dipastikan ada pengamalan dari selipan nasihat yang telah beliau-beliau teladankan.

Adapun salah satu momen yang diingat yakni ketika dalam pengajian Kitab Mukhtashor Ihya ‘Ulumuddin dan telah memasuki bab terakhir. Kitab yang merupakan ringkasan kitab babon Ihya’ Ulumuddin tersebut berjudul Al-Mursyidul Amin ila Mau’idzotul Mu’minin min Ihya Ulum ad-Din, adalah alah satu kitab daras wajib di Pesantren Luhur Sabilussalam, dimana Yai Muslih sebagai pengampunya. Kelas ini biasanya berada di tingkat atas, mengingat bobot materi yang termuat di dalamnya pula.

Ketika pertemuan sudah mencapai fase terakhir kitab tersebut, khususnya pada bab terakhir yakni, al-Babu al-Arba’un fi Dzikril Mauti wa ma Ba’dah, entah mengapa cara penyampaian beliau lebih lama dan nasihatnya bertambah banyak dibanding pembahasan lain sebelumnya. Terlepas mungkin sub-bab nya yang lebih panjang, namun nasehat-nasehat yang diutarakan dibumbui berbagai macam logika sederhana terkait kehidupan dan setelahnya dengan mendalam. Terlebih ketika bab wafatnya Nabi dan Para Khulafaurrosyidin. Saat itu, beliau lebih lama mengambil jeda dibanding jeda mengamati tulisan yang agak sulit dibaca lainnya. Saya meyakini, jeda tersebut bukan karena tulisannya, tapi makna dan ruang sunyi yang tidak bisa dijelaskan huruf-huruf di kertas ini.

Beliau juga pernah memberi pesan bahwa dalam doa;

اَللهُمَّ اِنَّا نَسْئَلُكَ سَلاَمَةً فِى الدِّيْنِ وَعَافِيَةً فِى الْجَسَدِ وَزِيَادَةً فِى الْعِلْمِ وَبَرَكَةً فِى الرِّزْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَرَحْمَةً عِنْدَ الْمَوْتِ وَمَغْفِرَةً بَعْدَ الْمَوْتِ. اَللهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا فِىْ سَكَرَاتِ الْمَوْتِ وَالنَّجَاةَ مِنَ النَّارِ وَالْعَفْوَ عِنْدَ الْحِسَابِ

Perlu ditambah sepenggal lafaz di tengahnya dengan doa tambahan berupa,

و راحة و رحمة عند الموت… الخ

Rohatan, sebagaimana maknanya adalah istirahat, relaksasi, rileks, tenang, tenteram, nyaman.

“agar nanti pas kita meninggal, meninggalnya tenang, nyaman, seperti orang istirahat..” tutup beliau.

Hal ini yang kiranya, dengan pengulangan doa tersebut, menjadikan kepulangan beliau begitu tenang, tidak memberatkan siapapun persis sebagaimana orang beristirahat. Bahkan berpulang ketika sudah siap berangkat menuju sholat Isya di malam Jum’at dan di bulan Maulid. Masya Allah.

Sepenggal Kisah

Secara pribadi, saya menikmati segarnya pengalaman bersama beliau. Selain pengajar di Sabilussalam, Yai Muslih juga dlilalah dosen di kampus dan dosen konsentrasi Sejarah Timur Tengah dimana saya mengambil konsentrasi tersebut, beliau juga dosen pembimbing Kuliah Kerja Nyata (KKN), hingga dosen penguji Tugas Akhir saya. Semua kesempatan itu, membuat saya dapat menyimak bagaimana sikap, cara berpikir, langkah, retorika, yang selalu beliau tawarkan dalam melihat suatu analisis. Sanad analisis kesejarahan banyak saya tiru dari beliau.

Bahkan dengan usia menjelang pensiun, sebagai dosen pembimbing KKN, beliau berangkat sendiri ke Camp KKN saya di Tegalpanjang, Bogor. Menyetir mobil pagi buta, kisaran waktu lebih dari 3 jam-an perjalanan, kemudian mengikuti serangkaian kegiatan dari siang hingga sore menjelang maghrib. Di dalam camp, beliau bertanya banyak hal terkait program kemudian menutup dengan berpesan,

“dimanapun, jangan lupakan masyarakat yang senior, guru-guru ngaji, sama mesjidnya..”.

Hal itu kemudian kami terjemahkan menjadi program kelompok, yakni memperhatikan masjid/mushola dan ‘memantaskan’ ustadz kampung meski semampu kami. Ketika hendak pulang, saya menawarkan diri mengawal hingga jalan besar mendekati Jakarta tapi beliau menolak sembari tertawa dengan candaan ‘Kaya apa aja dikawal’. Kami manut sembari ikut tertawa meski berat melepas.

Pak Yai Muslih juga sosok yang sering mengajak kami senantiasa mendawamkan zikir. Sewaktu ketika beliau pernah mengajak saya mengikuti pengajian zikirnya di Ciganjur Jakarta Selatan sembari menjelaskan bahwa santri perlu menjaga zikir. Zikir, menurut Yai Muslih, diibaratkan tameng/perisai guna menghalau segala kemungkinan bagi para santri.

Zikir buat santri itu tameng”, penggal beliau, “santri kalau ga’ ada tamengnya jadinya tidur mulu, Sufyan..”, lanjutnya. Lagi-lagi diwarnai dengan tertawa khasnya.

Tatkala itu, saya mencari tau apa yang beliau maksud. Mengapa menggunakan diksi tidur? Bukankah tidur juga tidak masalah bagi seorang santri dengan kegiatan yang padat? Bukankah menurut informasi, tidurnya orang yang belajar lebih ditakuti syaitan daripada tidurnya seorang ahli ibadah?

Namun perlahan sekian waktu beliau menyampaikan hal itu, saya memahami bahwa di tengah kosmopilit wilayah satelit Jakarta, area dinamika pergulatan dunia intelektualisme, zikir memang penawar dasar guna mengontrol diri agar tetap sesuai track-nya. Sebuah pengingat dari beliau -melalui penfasiran sederhana- bahwa keilmuan yang tidak dikontrol oleh ketentraman batin seringkali ‘meninabobokan’ hati dan fisik. Tubuh para pencari ilmu yang tidak dibarengi oleh zikir membuat keilmuannya tidak terasa bernas. Pun sebagaimana zikir yang tidak dibarengi oleh ilmu, hanya membuat hati ‘terninabobokan’ pula oleh bayang-bayang makrifatullah yang semu. Perlu seimbang, agar tidak ‘jadinya tidur mulu’ sebagaimana nasehat sebelumnya.

Hal tersebut tentu mengingatkan kita pada salah satu hadis Nabi Muhammad saw, bahwa hati tanpa berzikir ibaratkan orang yang ‘tidur’,

مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

“Permisalan orang yang mengingat Rabb-nya dengan orang yang tidak mengingat Rabb-nya seperti orang yang hidup dengan yang mati.” (HR Bukhari).

Ingatan lainnya adalah sikap beliau dalam memperhatikan nilai-nilai syariat. Misalnya saja setiap bertemu, entah di rumah beliau, di jalan berpapasan, ataupun di kampus. Jika ada kesempatan bertemu, beliau selalu tersenyum seraya berkata,

“Sufyan, nama kamu ada ‘Syafii’-nya, wudhunya, perilakunya harus sama ya dengan Imam Syafii (merujuk pada nama seorang Imam madzhab terkemuka)..”. Berulang demikian. Jika bukan karena perhatiannya salam perihal syariah, tentu hal tersebut tidak begitu dipentingkan. Petikan-petikan ini yang kiranya, membekas dalam ingatan saya.

Gambaran sikap yang konsisten tersebut tentu bukan sikap yang dibangun satu dua malam, atau dibuat-buat sekelebat. Sikap dan perilaku ini tercermin dalam sepanjang kehidupan sehari-hari beliau. Saya sempat sedikit ‘mencoba’ melakukan sedikit eksperimen, dari apa yang disampaikan pihak keluarga (ketika malam tahlil almarhum), dan mencoba mengkorelasinya dengan memisahkan antara subjektivitas informasi keluarga dengan sebisa mungkin menempatkan diri secara objektif sebagai seorang pendengar, namun faktanya memang tidak ditemukan perbedaan. Apa yang pihak keluarga almarhum sampaikan sebagai informasi terdekat, dengan sikap yang  ‘kami’ rasakan terasa begitu persis.

Sikap disiplin, perhatian, serta kepedulian terhadap orang lain dan keluarga yang dilakukan sepanjang hidupnya memang demikian adanya dan tidak dilebih-lebihkan. Bahkan, jika pada malam ganjil atau malam 10 akhir Ramadhan, sebelum adanya program resmi malam iktikaf di Masjid Darussalam, datanglah saja di malam-malam tersebut sejak jam 2-an dini hari. Pasti akan pembaca dapati beliau sudah tegak solat dengan jumlah rokaat yang berulang.

Sikap-sikap itu lambat laun dapat kami, para mahasantri/mahasiswa, tangkap dan lihat secara langsung sebagai sebuah teladan. Sederhananya, misal mengajar di pengajian Sabil tidak pernah telat, ketika mengajar di perkuliahan jurusan selalu tepat waktu, tatkala sebagai penguji sidang saya pun beliau datang lebih dahulu di kantor jurusan sembari membaca secara teliti, sholat jamaah selalu didahulukan, ketika diundang kegiatan organisasi eksternal seringkali hadir, kawan-kawan saya yang dibimbing oleh beliau pun juga mengatakan hal senada. Hingga kiranya kita semua tidak perlu bertanya, adakah keteladanan yang diragukan dari sosok Pak Yai Muslih?

Teladan Tanpa Tepi

Kepergian Pak Yai Muslih persis sebagaimana kita merasakan kepergian para sesepuh Sabilussalam lainnya. Sesak dan pilu sekali di dada. Kepergian beliau dan sesepuh lainnya tidak hanya kepulangan seorang guru, tapi juga sosok orang tua. Dengan suara dan tawa khasnya, Pak Yai Muslih selalu mengingatkan mahasantri dengan bentuk perhatian yang sulit untuk dilupa.

Pak Yai Muslih, dan para Masyayikh Sabilussalam lainnya selalu memancarkan spirit keikhlasan, cinta ilmu pengetahuan, konsistensi dalam kebaikan dan nilai tanggung jawab yang memukau. Saya selalu meyakini bahwa cara pandang iinilah yang perlu selalu dititi oleh para mahasantri. Terlepas kekurangan dan kelebihan yang mungkin ada, tapi kenyataan bahwa ingatan kita akan kebaikan Pak Yai Muslih yang meluas kiranya akan sama. Seakan memang tidak ada tepi bagi para masyayikh Sabilussalam dalam menitipkan nilai-nilai luhur.

Tentu, sebagaimana Pak Yai Muslih, kita pernah meneladani Alm. Pak Mansur dan bu Manshur dengan visi besarnya, Alm. Prof Suwito dengan daya analisis mendalamnya, alm. Prof Moh. Matsna dengan kepiawaian teknokrasinya, alm. Pak Dr. Udjang dengan kesederhanaan dan kemasyarakatannya, serta seluruh masyayikh –rohimallahu ta’ala ‘anhum– telah menitipkan kepada kita banyak hikmah tentang pentingnya hidup penuh manfaat. Manfaat dalam ilmu, perbuatan, maupun legacy yang baik setelah hidup di dunia.

Pun demikian dengan Prof Hidayat dengan karya-karyanya yang menyamudera, Prof Khotibul Umam dengan kecendikiawannya. Hingga para pendiri-pendiri lainnya yang namanya masih kita dengar, semisal Prof Partosentono, Dr. Udin Syamsuddin, dan para pendiri, wakif juga sesepuh lainnya yang belum bisa disebutkan dengan tanpa sedikitpun mengurangi rasa hormat.

Seluruhnya telah berbuat, maka tugas kita adalah melanjutkan visi besar yang sudah dipupuk tersebut. Pohon besar yang telah dirawat lama bernama Sabilussalam ini dicita-citakan sebagai sebuah instituti yang menaungi dunia dengan ilmu pengetahuan, kesederhanaan, kemasyarakatan, serta prinsip dasar pesantren sebagai pembentukan moral dan mental muslim sejati.

Wal akhir, beliau-beliau sejatinya tidak pernah pergi meninggalkan kita, tapi sedang mengkader kita agar semakin mantap melanjutkan perjalanan (Sabilun) menuju Dzat as-Salam, Allahu subhanahu wa ta’ala. Di ujung jalan ini, semoga kita semua dapat dipertemukan kembali serta dapat mencium tangan beliau-beliau lagi. Mencium tangan orang-orang yang seluruh hidupnya diwakafkan untuk ilmu. Yang umurnya habis mengabdi untuk umat tanpa tepi, demi kebaikan masa depan kita dengan tanpa pernah mengenal tapi. Alfatihah.

Sufyan Syafii, alumni 2011 Pesantren Luhur Sabilussalam

Tim Penerbit dan Publikasi Pesantren Luhur Sabilussalam