Sembuh dari Covid-19, Testimoni Seorang Penyintas

Suwendi, Alumni Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

Suwendi (alumni Sabilussalam angkatan pertama), Penyintas Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, Bersyukur kepada Allah SWT, berdasarkan atas hasil swab pada Laboratorium Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tanggal 22 September 2020, saya dinyatakan telah negatif dari Covid-19.

Tentu, hasil ini sangat melegakan dan kebahagiaan yang luar biasa, khususnya bagi kami sekeluarga, dan kolega serta para sahabat semua. Pasca isolasi mandiri selama 14 (empat belas) hari, mulai tanggal 8 hingga 21 September 2020, akhirnya harapan itu datang dengan penuh syukur.

Betapa tidak, virus yang menjadi sumber kehebohan dunia yang hingga kini belum ditemukan vaksinnya serta telah bersarang di dalam badan ini, telah dinyatakan negatif. Lagi-lagi, hanya lantunan syukur dan kebahagiaan yang sungguh tiada tara.

Pengalaman yang saya rasakan bukanlah pengalaman yang pertama kali. Sebab, sudah banyak penderita covid-19 lain yang kemudian telah dinyatakan negatif dan pulih kembali. Tentu, saya menambah deretan dari penderita Covid-19 yang telah sembuh itu. Sejumlah kawan menanyakan tentang bagaimana ciri-ciri pertama terjadi, apa yang dilakukan selama isolasi, dan hal-hal lain yang terkait Covid-19.

Secara jujur saya sampaikan, tentu yang lebih ahli dari itu semua adalah para ahli: dokter, saintis, dan peneliti, dan orang-orang yang memiliki kapasitas di bidang itu. Namun, ada juga yang meminta agar bisa saling sharing terkait testimoni, terutama apa yang dilakukan selama masa isolasi itu. Dalam konteks inilah, tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi, dan tidak mewakili keabsahan secara akademik-ilmiah terkait Covid-19 ini, dengan harapan dapat menjadi inspirasi terutama untuk sesama penderita covid-19.

Tanggal 7 September 2020 sore, berdasarkan swab pada Laboratorium Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya dinyatakan terinfeksi dan positif covid-19. Kondisi badan yang saya rasakan biasa saja, tidak ada gejala, seperti batuk, pilek, demam, dan lainnya tidak saya rasakan. Namun, saya tetap meyakini dan percaya betul akan hasil swab tersebut. Inilah yang kemudian disebut dengan OTG atau orang tanpa gejala.

Terlihat sehat wal afiyat, tetapi di dalam badannya mengandung virus yang akan menularkan kepada orang lain. Saat itu, saya menenangkan diri, menguatkan hati dan pikiran, serta berusaha dengan sekuat tenaga untuk ikhlas atas kenyataan ini, meski hal ini tidaklah mudah dilakukan.

Selama isolasi mandiri, yang saya lakukan dapat dikategori ke dalam beberapa bagian.

Pertama, kegiatan secara fisik. Berjemur setiap pagi sekitar pukul 08.30 hingga 09.15 dan sore hari sekitar pukul 16.00 hingga 17.00 hampir rutin saya lakukan. Di samping untuk menghilangkan kepenatan berada di kamar, juga untuk merilekkan badan sambil melakukan gerakan-gerakan olahraga yang menyehatkan. Bahkan, aktivitas dengan membersihkan kamar yang ditempati dan mencuci baju sendiri, agar tidak terkontaminasi kepada orang lain, itu menjadi rutinas setiap hari. Bahkan, aktivitas dan tugas-tugas kantor hampir tidak pernah ditinggalkan, yang menggunakan fasilitas virtual dalam jaringan (daring).

Menulis artikel ringan, berbagai pengalaman selama masa isolasi dan memberikan edukasi terutama tentang Covid-19, hampir tidak ditinggalkan. Intinya, aktivitas secara fisik cenderung tidak ada bedanya antara kondisi positif atau negatif dari Covid-19 ini. Semua aktivitas fisik ini dilakukan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, menggunakan masker, menjaga jarak dengan anggota keluarga, bahkan makan minum terpisah sendiri, tidak gabung. Demikian juga, piring gelas yang saya gunakan terpisah dan tidak dipakai oleh anggota keluarga, untuk mengantisipasi menyebarnya virus.

Kedua, mengonsumsi obat, ramuan dan langkah-langkah alternatif. Selain mengonsumsi antibiotik dan multivitamin yang mengandung zink, madu, dan nutrisi lemon tidak pernah ditinggalkan. Minuman hasil rebusan temu lawak, sereh, dan temu item, beberapa kali saya konsumsi. Akan tetapi, yang paling rutin saya lakukan dari upaya ini adalah terapi air garam dan minyak kayu putih. Ambil 1-2 sendok garam yodium yang biasa untuk masak dapur dimasukkan ke dalam 1 gelas lalu diaduk hingga merata. Air garam tersebut digunakan untuk 1-2 kali kumur-kumur lalu dibuang, dan diisap melalui dua lubang hidung lalu dibuang, persis layaknya berwudhu dengan berkumur dan menghisap air ke hidung.

Terapi air garam ini rutin dilakukan sekitar 3 hingga 5 kali dalam sehari, terutama di pagi dan malam hari. Adapun terapi minyak kayu putih dilakukan dengan menghirupnya melalui kedua lubang hidung secara dalam-dalam, kemudian napas dilepaskan melalui mulut. Ini dilakukan untuk 3-5 kali dalam sehari. Terapi minyak kayu putih juga dilakukan dengan cara jari telunjuk yang telah diberi 3-4 tetes minyak kayu putih dimasukkan ke dalam pangkal lidah terdalam. Ini lakukan sekitar 3-4 kali dalam sehari.

Ketiga, berusaha untuk menenangkan hati dan pikiran, positive-thinking, ikhlas dan menerima semua takdir merupakan upaya yang tidak pernah ditinggalkan.

Keempat, beribadah, munajat dan berdoa kepada Allah SWT, dengan membiasakan membaca Al-Quran Surat Al-Mulk dan beberapa bacaan doa-doa pilihan untuk memperkuat semangat dan kepasrahan total akan kekuasaan Allah SWT.

Demikian, semoga manfaat.

(Telah dipost pada hari Rabu, 23 September 2020, REPUBLIKA.CO.ID)

https://republika.co.id/berita/qh3mfr483/sembuh-dari-covid19-testimoni-seorang-penyintas