Dibalik kemegahan dan kegemilangan kota Jakarta ada sebuah hikmah besar dibalik asal usul nama kota itu. Sejarah mencatat bahwa nama Kota tersebut diambil dari satu tokoh yang krusial. Dia adalah Ahmad Djakarta merupakan pangeran yang ditugaskan oleh kerajaan Banten untuk mengusir kompeni penjajah di Sunda Kelapa. Pangeran Jayakarta yang familiar kita dengar dengan putra dari Pangeran Sungerasa Jayawikarta dari pejabat Kesultanan Banten. Namun dalam sumber lain, beliau adalah putra dari Tubagus Angke dan Ratu Pembayun yang merupakan anak dari Sunan Gunung Jati. Memang dalam babad atau serat di dalamnya masih dibungkus dengan dongeng dan metafora.
Ahmad Djakarta ini adalah orang yang paling dicari kompeni di dataran Batavia pada waktu itu. Beliau jadi buronan penjajah dikarenakan mampu membuat propaganda-propaganda kepada masyarakat untuk melawan VOC, karena sangat mengganggu sistem monopoli perdagangan waktu itu dan berbuat semena-mena kepada pribumi. Pangeran Jakarta dan para pengikutnya melakukan berbagai macam serangan-serangan dan sabotase ke markas penjajah.
Atas keberanian dan perlawanan tersebut, tidak heran beliau dipepet dan bersembunyi di wilayah hutan jati yang melewati kali yang sekarang nama wilayahnya Jatinegara. Beliau di sana membuat sebuah masjid yang namanya as-Salafiyah. Langkah membuat masjid itu terinspirasi oleh Rasulullah SAW saat hijrah ke Madinah dengan membangun masjid sebagai pusat dakwah Islam dan pusat strategi perlawanan kompeni.
Pangeran Jayakarta menjadi penguasa pelabuhan Jakarta sekitar tahun 1602-1619. Hingga beliau wafat di belakang masjid as-Salafiyah pada tahun 1640 M. Lebih dari tiga abad makam ini hilang alias disembunyikan oleh para pengikutnya untuk menghilangkan jejak dari penjajah agar tidak merusak makam dan menghilangkan identitas masyarakat Jakarta pada waktu itu agar membenci penjajah, hingga ditemukan pada tahun 1956.
Pada ulang tahun Jakarta ke-441, Gubernur Ali Sadiqin meresmikan berdirinya makam Pangeran Jayakarta sebagai situs cagar budaya yang dilindungi dan tidak boleh dirusak. Jasa-jasa Gubernur Ali Sadiqin patut diapresiasi karena banyak membuka situs-situs peninggalan sejarah yang ada Jakarta. Pangeran Jayakarta juga diangkat sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah seperti halnya Pangeran Diponegoro. Selanjutnya, perjuangan itu sebagai efek “bola salju” untuk kemerdekaan bangsa Indonesia.
Dibalik liberalisme kota Jakarta kita tidak boleh mengalami krisis identitas kita sebagai warga Jakarta dan Indonesia. Kehadiran makam ini, kita bisa membaca peradaban dan kebudayaan di kota Jakarta. Kita bicara makam itu secara ilmiah, sosiologis, historis dan antropologi tidak mistisisme dan mitoisme. Kita bisa mempelajari hikmah kebijaksanaan selama hidup “Sohibul Makam”.
Pangeran Jayakarta adalah seorang penguasa pelabuhan Batavia dan sosok Ulama yang karismatik dalam berdakwah di Jakarta waktu itu. Dibalik itu beliau merupakan sosok ekonom yang mampu menguasai pola-pola perdagangan internasional di pelabuhan Jakarta waktu itu. Kita mempelajari wali itu sebagai simbol kekuatan ekonomi dan perlawanan penjajah. Karena Islam sangat membenci apa pun bentuk penindasan dan sangat menjunjung tinggi kesetaraan, karena kalau ekonomi manusia hancur maka akan terjadi kelaparan di seluruh dunia. Belum sempurna jadi orang Jakarta kalau belum ziarah ke makam Pangeran Jayakarta. Terlepas dari berbagai macam versi sejarah, hal yang terpenting adalah mengambil suatu hal yang positif darinya.
Ahmad Dzakiyul Afkar, Mahasantri Semester 3 Pesantren Luhur Sabilussalam dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Semester 5 Jurusan Filsafat, Ushuluddin.