Ustadz Dr. H. Muslih Idris, Lc., M.A. Demikian nama beliau yang diikuti oleh banyak gelar, selaras dengan kegigihan beliau dalam perjalanan keilmuannya. Beliau menempuh studi sarjana strata satu di UIN Jakarta yang pada saat itu masih berstatus sebagai IAIN Jakarta. Kemudian beliau melanjutkan pendidikan masternya di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Kemudian menamatkan jenjang Doktornya kembali ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Beliau merupakan Ketua Yayasan sekaligus salah satu pendiri Pondok Pesantren Luhur Sabilussalam ini. Perjalanan dakwah beliau tak hanya terbatas di pesantren, namun juga dengan mengajar di berbagai universitas. Beliau juga merupakan pengasuh salah satu asrama putri dari Pesantren Luhur Sabilussalam.
“Bapak” adalah panggilan kesayangan kami semua kepada beliau. Panggilan tersebut tak hanya terucap dari kami para mahasantri yang menyematkan beliau sebagai orang tua kedua kami. Melainkan juga jajaran asatidz karena sangat memuliakan beliau.
Sabtu Bersama Bapak
“Sabtu Bersama Bapak” menjadi istilah yang kami adopsi sebagai kenangan bersama almarhum Bapak Muslih. Hal yang mendasarinya adalah adanya pengajian khusus yang mengkaji kitab Tanbihul Ghaafilin, yang bertempat di asrama satu putri Sabilussalam dan dilaksanakan setiap Sabtu pagi.
Komitmen beliau dalam melaksanakan pengajian tambahan tersebut sering membuat kami tertampar. Karena dengan padatnya kesibukan dan jadwal pengajian lain, beliau tetap gigih dalam berdakwah dan berbagi ilmu bersama santri asrama.
Uniknya dalam setiap pengajian, beliau tak hanya menggunakan metode sorogan satu arah. Namun beliau memberikan peluang bagi para mahasantri untuk membaca dan menerjemahkan kitab kuning. Sehingga mahasantri memiliki ghirah untuk muthala’ah (mengulang dan mempersiapkan materi).
Sebelum menutup pengajian, nasihat yang rutin beliau berikan adalah terkait prioritas ibadah dan mengaji, terutama dalam era yang serba modern ini. Pengajian juga ditutup dengan kebiasaan sederhana nan indah dari Bapak. Memanggil satu persatu mahasantri asrama satu selayaknya mengabsen dan memberikan gurauan kecil dalam setiap sebutan nama.
Tak pernah terlewat pula oleh Bapak untuk menanyakan kenyamanan kami di Asrama. Seperti apakah ada fasilitas yang rusak maupun mati, dan sebagainya. Perhatian dan kepedulian beliau membuat kami nyaman dan aman, khususnya bagi kami para rantauan yang jauh dari orang tua. Beliau seakan menjadi orang tua kedua selama berada di kota orang.
“Bapak, Lampu kamar kami ada yang mati!”, “atap kami sepertinya sedikit bocor” atau “listrik kami ada yang konslet”. Demikian keluhan kami yang selalu bersahutan dan tak pernah tak diindahkan oleh Bapak. Meski dengan lutut yang sedikit gemetar, Bapak selalu memperbaiki dan merampungkannya satu demi satu secara mandiri, dengan peralatan mekanik pribadi milik beliau.
Kiprah dan Keteladanan Beliau
- Ketulusan dan Kepedulian
Ketulusan dan semangat beliau tercermin dalam setiap tindak laku keseharian beliau. Di pagi hari, beliau rutin beraktifitas di sekitar rumahnya untuk memberi makan ayam-ayam, merawat tanaman, mempersiapkan mobil jika akan mengajar, hingga membenahi hal-hal yang kurang rapi.
Salah satu bentuk ketulusan beliau adalah nasihat dan wejangan yang tak pernah lepas sebagai pelengkap dakwah beliau. Hal itu menjadi bagian yang sejuk bagi para santri maupun jamaah lain, yang terselip di sela-sela pengajian beliau. Beliau juga selalu mengarahkan para jamaah untuk memprioritaskan aktivitas yang mengarah pada akhirat di tengah kesibukan dunia.
Kepedulian beliau pun tak terbatas pada keluarga maupun para santri. Namun juga masyarakat desa hingga penjual yang sering melewati rumah beliau. Salah satunya kesedihan dan rasa kaget yang dirasakan pakdhe penjual ketoprak setelah mendapat kabar bahwa Bapak telah meninggal. Pakdhe mengungkap bahwa Bapak adalah orang yang baik, ramah, dan dermawan.
Kedermawanan Bapak dirasakan langsung oleh pakdhe karena seringkali Bapak memberikan sebagian uangnya kepada pakdhe tersebut. Hal ini dituangkan oleh salah satu alumni Sabilussalam dalam cerita whatsappnya setelah berbincang dengan pakdhe. Begitupun rasa sesal yang diluapkan bang Amir seorang penjual bubur ayam keliling kepada kami, karena tak sempat mengetahui dan menjenguk saat Bapak sakit.
2. Keistiqomahan Berdakwah dan Merawat Ilmu
Usia hanyalah angka. Begitulah yang tercermin dalam hal ihwal beliau, yang masih gigih dan istiqomah menjalani berbagai aktivitasnya. Meski sudah menginjak usia 72 tahun, beliau memiliki aktivitas yang bisa dikatakan sangatlah padat.
Beliau memiliki jadwal tiga hari dalam aktifitas mengajarnya di UIN Jakarta, tepatnya di jurusan Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora. Satu hari yang lain beliau isi dengan aktifitas mengajar di INISA (Institut Agama Islam Shalahuddin Al-Ayyubi) Tambun, Bekasi. Bahkan perjalanan Ciputat-Bekasi tersebut beliau lakukan sendiri tanpa adanya pendamping maupun sopir pribadi.
Tak hanya sampai di situ, beliau juga memiliki jadwal mengajar di salah satu kampus di Ciganjur Jakarta Selatan, tepatnya di Yayasan Nurul Mukminin. Beliau juga masih meluangkan waktunya untuk mengisi pengajian tiap 1-2 kali dalam sebulan di hari Kamis malam, yang bertempat di Cibubur Jakarta Timur.
Dalam beberapa jadwal, beliau juga masih aktif memberikan ceramah atau kultum subuh di masjid Darussalam yang berjarak 60 meter dari rumah beliau. Di hari lainnya, beliau mengabdikan diri untuk mengajar mata kuliah Tarikh (Sejarah) dan Ihya’ Ulumuddin di Pesantren Luhur Sabilussalam.
Yang lebih mengesankan, beliau masih berkomitmen tinggi untuk memberikan pengajian khusus bersama Mahasantri putri, bertempat di aula asrama yang beliau kelola. Dakwah beliau dalam pengajian kitab Tanbihul Ghaafilin (peringatan bagi orang-orang yang lalai) ini seakan menjadi alarm bagi kami yang masih belum stabil iman, ibadah dan amalannya.
Keikhlasan Bapak dalam mendidik mahasantri maupun mahasiswanya sangat jelas tercermin dalam tiap tindak laku beliau. Tak ada yang beliau harapkan kecuali para santrinya selalu memprioritaskan dan merawat ilmu agama. Kesibukan dunia beliau pun berorientasi pada urusan akhirat. Hal itu membuat dakwah dan nasihat beliau mendarat dengan damai hingga terpatri di hati kami semua.
Beliau lahir dan berkembang di Kediri, pada 3 September 1952. Dan menghembuskan nafas terakhirnya di Tangerang Selatan, 27 September 2024 setelah mengalami sakit selama beberapa bulan. Kemudian berwasiat agar dimakamkan di Kudus, Jawa Tengah.
Meski Bapak telah meninggalkan kita semua pada hari Jumat yang mulia kemarin namun kenangan, nasihat dan ilmunya masih membersamai hingga menjadi kompas bagi langkah kami kedepannya.
Sayyida Nayla S.S.I Alumni Mahasantri Pesantren Luhur Sabilussalam
Tim Penerbitan dan Publikasi Pesantren Luhur Sabilussalam