Menafsirkan Al-Qur’an adalah salah satu upaya untuk memahami kalam Tuhan. Orang yang berusaha menafsirkan Al-Qur’an berarti dia berupaya untuk memahami Al-Qur’an. Dia berada satu tingkat dari orang yang membaca Al-Qur’an.
Akan tetapi, proses menafsirkan Al-Qur’an “tidak semudah membalikan telapak tangan”. Diperlukan metode dan standarisasi keilmuan, sehingga dia layak menafsirkan Al-Qur’an (mufasir). Para ulama telah memformulasikan metode yang dapat digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Fahd bin Abd al-Rahman mengatakan bahwa setidaknya ada empat metode menafsirkan Al-Qur’an; yaitu metode tahlili (analitik), ijmali (global), muqaran (perbandingan), dan maudhui (tematik). (Fahd bin Abd al-Rahman, Buhuts fi Ushul al-Tafsir wa Manahijih [Maktabah al-Taubah], hal. 57).
Empat poin tersebut juga sering disebut dengan sistematika penulisan tafsir. Sebab, pada praktiknya mufasir ketika menyusun karyanya tidak akan bisa terlepas dari salah satu empat metode tersebut.
Pertama, metode tahlili (analitik). Metode tersebut dapat dipahami sebagai proses pengungkapan makna Al-Qur’an dari berbagai aspeknya, mulai dari dimensi balagah, sebab turunnya ayat, munasabah; serta disusun berdasarkan tartib mushaf.
Pengertian tersebut senada dengan definisi yang disampaikan oleh Al-Farmawi, bahwa metode penafsiran analitik adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan segala aspek yang terkandung di dalamnya dan menjelaskan makna-makna yang terdapat dalam ayat tersebut sesuai dengan kecenderungan keilmuan mufasir (Abd al-Hay al-Farmawi, al-Bidayah fi Tafsir al-Maudhui [Dirasah al-Manhajiyyah Maudhuiyyah], hal. 24).
Kedua, metode ijmali (global). Metode penafsiran global sering diartikan sebagai cara menafsirkan Al-Qur’an pada aspek yang umum saja. Sering kali penafsiran ini menampilkan sinonim kata pada setiap lafaz ayat Al-Qur’an.
Proses penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an secara global dilakukan secara ringkas, namun tetap meliputi bahasa yang populer, mudah dipahami, dan enak dibaca. Tujuan dari hadirnya metode ini adalah untuk menggampangkan dalam memahami dan menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur’an bagi seorang pembaca dan pendengar (Fahd bin Abd al-Rahman, Buhuts fi Ushul al-Tafsir wa Manahijih [Maktabah al-Taubah], hal. 59).
Ketiga, metode penafsiran muqaran (perbendingan). M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa metode tafsir muqaran adalah membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi yang berbicara tentang satu masalah atau kasus yang “dianggap” ada kemiripan (M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir [Tangerang: Lentera Hati, 2013]).
Model metode penafsiran ketiga ini dapat ditempuh dengan tiga cara; membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, ayat Al-Qur’an dengan hadis Nabi, dan antar pendapat ulama tafsir.
Keempat, metode maudhui (tematik). Metode tafsir tematik merupakan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadikan tema sebagai pembahasan utama. Penafsiran model ini tetap memperhatikan kaidah-kaidah dan syarat-syarat penginterpretasian ayat Al-Qur’an supaya mengetahui makna dan maksud ayat tersebut.
Bentuk dari tafsir tematik ini dapat tercipata dengan dua pola; pertama, satu surah kemudian diberikan subtema; dan kedua, satu tema, lalu dikumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan tema tersebut.
Adapun kehadiran tema tersebut dapat ditempuh berdasarkan dua jalan, yaitu dari nas ke realitas (min al-nash ila al-waqi’) dan dari realitas ke nas (min al-waqi’ ila al-nash).