Dr. K.H. M. Muslih Idris, Lc., M.A., atau kami biasa memanggilnya bapak, adalah sosok guru, orang tua, dan kyai yang sangat mengayomi. Bukan hanya kepada para santri, kepada kami, para pengurus pun bapak sangat perhatian dan mengayomi. Selain itu, bapak juga banyak menunjukan kepada kita pelajaran-pelajaran yang sangat berharga. Beliau mengajarkannya bukan hanya sebatas lewat lisan dan nasehat saja, akan tetapi beliau melakukannya dan mencontohkannya secara langsung.
Sosok yang Disiplin dan Selalu Tepat Waktu
Di antara contoh dan teladan yang ditunjukkan oleh bapak untuk kami khususnya para pengurus pesantren Sabilussalam adalah kedisiplinan beliau dalam hal waktu. Bapak mengajar di Sabilussalam dua kali selama seminggu, tepatnya di malam Kamis dan malam Sabtu. Beliau mengajar kitab Ihya Ulumuddin, kitab tasawuf fenomenal karya ulama besar Imam Al-Ghazali di kedua malam tadi. Dalam hal ini, bukan tentang cara mengajar bapak atau gaya mengajinya yang akan kami ceritakan. Akan tetapi tentang kedisiplinan waktu dan ketepatan beliau dalam datang mengajar.
Bapak selalu datang tepat waktu, jarang sekali atau bahkan tidak pernah beliau datang terlambat tanpa adanya suatu udzur atau halangan syar’i. Tak jarang ketika bapak sudah sampai di kantor, di sana belum ada pengurus piket yang hadir, yang sedia menyiapkan segala sesuatunya seperti absen air minum dan lain sebagainya. Sangat malu rasanya bagi kami ketika menemui hal semacam itu. Beliau yang sudah jauh lebih sepuh dari kami tetapi komitmen dalam disiplin dan ketepatan waktunya sangat tinggi, sedangkan kami yang masih muda ini justru datang terlambat di saat piket. Ketika kami datang ke kantor, ternyata bapak sudah duluan di sana menunggu dan berkata; “gimana sudah diabsen? Udah jam 7 lewat lho ini”.
Kedisiplinan dan ketepatan waktu bapak bukan hanya di awal pengajian saja. Bapak juga tidak pernah menyelesaikan pengajian sebelum bel tanpa jam pengajian telah selesai dibunyikan. Prinsip beliau adalah, santri memiliki hak untuk diajar selama waktu yang terjadwal, yaitu mulai dari jam 19.00 hingga 20.30. Jika kita sebagai pengurus atau pengajar tidak memenuhi hak santri tersebut, maka sudah termasuk ke dalam perbuatan dzolim, dan di situ bapak sangat berhati-hati dengan itu. Oleh karenanya beliau selalu memulai dan mengakhiri pengajian sesuai jadwal yang sudah ditentukan, tidak terlambat atau tidak lebih cepat. Tepat waktu sesuai jadwal.
Tidak ada Kata Libur dalam Mengaji
Selain tepat waktu, bapak juga paling ketat soal libur mengaji. Beliau paling tidak suka juga dikit-dikit pengajian diliburkan, dengan alasan ada kegiatan inilah atau itulah, beliau sangat tidak suka itu. Pernah suatu ketika, kami temen-temen pengurus menyampaikan kepada beliau bahwa temen-temen santri sedang ada agenda kegiatan KMPLS, dan kebetulan pada waktu itu adalah jadwal ngaji bapak. Akhirnya kami sampaikan ke beliau jika temen-temen santri meminta izin untuk meliburkan pengajian karena mau mempersiapkan segala sesuatunya untuk kegiatan tersebut. Dengan senyumannya dan nada khasnya beliau menjawab dengan tegas; “ya kegiatan silahkan kegiatan aja, kalau ngaji ya tetep ngaji”. Beliau tidak merestui jika pengajian diliburkan. Bagi beliau, pengajian adalah sebuah kegiatan wajib di pesantren. Mau segenting apapun keadaan pesantren, mau sebanyak apapun kegiatan santri di pesantren, beliau paling tidak suka jika pengajian diliburkan. Pokoknya tidak ada kata libur untuk mengaji.
Sosok yang Iklas dan Tulus dalam Mengajar
Dedikasi bapak lainnya yang dapat kita jadikan pelajaran adalah keikhlasan dan ketulusan beliau dalam mengajar, mendedikasikan hidup dan waktunya untuk ilmu. Tak jarang kami sebagai pengurus, mendapat nasehat dari beliau di kantor selapas beliau selesai mengajar di kelas. Beliau tidak pernah bosan menasehati kita akan pentingnya keikhlasan dan ketulusan dalam menjalankan amanah menjadi pengurus atau pengajar di Sabilussalam. Beliau selalu meyakinkan kami bahwa ada keberkahan yang sangat besar jika mau ikhlas dan tulus mengabdikan dirinya kepada pesantren.
Pesan beliau yang selalu beliau ulang-ulang kepada kami adalah; “pengurus itu yang tugasnya dan kewajibannya ngurusin santri, bukan justru minta diurus”. Saat beliau berkata demikian kepada kami, rasanya kami sedang ditampar dengan nasehat tersebut. Kami sadar selama mengabdi nampaknya keikhlasan dan ketulusan kami masih belum seberapa, tetapi tanpa rasa malunya justru kami beberapa kali hanya berfokus pada “minta diurus”. Sungguh belajar tentang keikhlasan dan ketulusan dalam mengabdi di pesantren yang tepat adalah belajar dengan bapak. Keikhlasan beliau dan ketulusannya paripurna di mata kami. Doakan kami ya pak supaya bisa mengikuti jejakmu dalam keikhlasan dan ketulusan mengabdi di Sabilussalam.
Aghnin Khulqi S.Hum, MA Alumni Pesantren Luhur Sabilussalam
Tim Penerbitan dan Publikasi Pesantren Luhur Sabilussalam